RIAU, PEKANBARU - Pemerintah Provinsi Riau sudah mengusulkan Ranperda tentang Perlindungan Hak Perempuan dari Tindak Kekerasan. Dengan adanya Ranperda ini nanti, maka diharapkan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak ada lagi. Pengajuan ini dilanjut dengan ditajanya Rapat Paripurna DPRD Riau dengan penyampaian Jawaban Fraksi oleh Pemprov, Senin (17/10/2016).
Plt Gubri Membuka Secara Resmi Pertemuan Forum Anak Riau Tahun 2016 Di Kabupaten Siak Indrapura beberapa waktu lalu. |
Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman diwakili Sekdaprov Riau Ahmad Hijazi saat rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPRD Riau Sunaryo didampingi wakil ketua DPRD Riau Manahara Manurung saat itu menyampaikan tentang Ranperda beberapa waktu lalu yang diajukan yakni Perlindungan hak perempuan dari tindak kekerasan.
Dalam rapat paripurna tersebut Sekretaris Daerah Provinsi Riau Ahmad Hijazi memberikan jawaban atas pandangan fraksi terhadap Ranperda tentang Perlindungan Hak Perempuan dari Tindak Kekerasan saat Paripurna DPRD Provinsi Riau.
Lebih lanjut disampaikan, tentang Perlindungan Anak Perempuan ini sudah ada dalam Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang perlindungan hak dasar anak. Maka, di saat ini yang diusulkan Ranperda tentang Perlindunganya Hak Perempuan atas Kekerasan, ke DPRD ini.
"Semua ini, untuk pemberdayaan masyarakat yang khususnya bagi perempuan dewasa. Kesemua ini diatur, sehingga kalau ada masuk pengaduan masyarakat terhadap kasus kekerasan perempuan, hal ini lebih cepat segera diakomodir. Termasuk rehabilitasi," ujarnya.
Seperti diketahui, dari tahun ke tahun kasus kekerasan terhadap perempuan sangat sering terjadi. Dari Data P2TP2A Provinsi Riau menunjukkan, dari tahun 2014 terdapat 361 kasus meningkat 2015 sebanyak 475 kasus dan tahun 2016 sebanyak 385 kasus angka kekerasan terhadap perempuan
Ahmad Hijazi menyebutkan, kekerasan terhadap perempuan sering terjadi baik dalam kehidupan berumah tangga, di lingkunan tempat kerja dan berbagai kehidupan sosial masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan.
Dikatakannya, Isu kekerasan terhadap perempuan sering dianggap sebagai masalah individu, padahal saat ini permasalahan kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi masalah global. Sehingga, Ranperda ini diharapkan dapat melindungi hak perempuan dari kekerasan. Dan upaya pencegahan supaya tidak terjadi lagi kekerasan termasuk pemaksaan dan perampasan kemerdekaan
Sekdaprov Riau Ahmad Hijazi menyampaikan tentang Ranperda Perlindungan hak perempuan dari tindak kekerasan beberapa waktu lalu. |
Kaum perempuan yang ada di Provinsi Riau boleh berlega hati, terutama yang sering mengalami kekerasan dari pasangan atau suaminya. Kurun waktu tidak lama lagi, Riau bakal punya Perda Perlindungan Hak Perempuan dari tindak kekerasan yang saat ini Ranperdanya sudah diajukan ke DPRD Riau.
"Ranperda ini diharapkan dapat melindungi hak perempuan dari kekerasan. Dan upaya pencegahan supaya tidak terjadi lagi kekerasan termasuk pemaksaan dan perampasan kemerdekaan," terang Ahmad Hijazi.
Dijelaskannya, isu kekerasan terhadap perempuan sering dianggap sebagai masalah individu, padahal saat ini permasalahan kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi masalah global. "Yang terekspos ke publik itu sebenarnya sudah mencapai puncaknya, padahal sebenarnya masih banyak didalamnya terjadi kekerasan terhadap perempuan," ujarnya.
Segala bentuk perlindungan perempuan sebagai korban kekerasan, maka mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, pemerintah membentuk Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Dikaji dari perspektif normatif, korban kejahatan memerlukan perlindungan, secara eksplisit seperti dirumuskan di dalam Pasal 285, 286, 287, 288, dan 297 dimasukan ke dalam Bab XIV ada beberapa argumentasi dan justifikasi mengapa dalam bab ini, Pasal yang dirumuskan khusus bagi korban yang berjenis kelamin perempuan adalah Pasal 285 tentang perkosaan, Pasal 286 tentang persetubuhan dengan perempuan yang tidak berdaya atau pingsan, Pasal 287 tentang persetubuhan dengan perempuan di bawah umur, Pasal 288 tentang persetubuhan dengan istri yang masih di bawah umur dan Pasal 297 tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki. Namun demikian beberapa pasal tersebut diberlakukan pemberatan dengan penambahan 1/3 (sepertiga) pidana pokok sebagai diatur dalam pasal 291.
Plt Gubri Hadiri Acara Senam Bersama dan Memperingati HUT Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB (BP3AKB) Provinsi Riau beberapa waktu lalu. |
Sekdaprov menjelaskan kasus kekerasan terhadap perempuan di Riau terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) terjadi tren peningkatan kekerasan terhadap kaum perempuan pada tahun 2014 sebanyak 361 kasus. "Kemudian meningkat menjadi 475 kasus pada tahun 2015. Sementara sudah tercatat sebanyak 385 kasus sampai Agustus 2016 ini," papar Ahmad Hijzai lagi.
Dilanjutkannya, kasus kekerasan perempuan dalam pelaksanaan kehidupan rumah tangga masih enggan karena dianggap aib keluarga. "Kemudian,terjadi karena korban memiliki rasa takut dan malu dan korban merasa tertekan bila kasusnya bila diketahui orang lain," terang Ahmad.
Sekdaprov menerangkan kekerasan terhadap perempuan mempunyai dimensi yang luas, karena itu penanganannya lintas sektor. Perlindungan merupakan kewajiban pemerintah, pemerintah daerah serta masyarakat.
"Tidak hanya perlindungan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dalam lingkungan kerja, namun termasuk perlindungan dari perdagangan manusia," terang Ahmad.
Dilanjutkannya, penanganan kasus terhadap perempuan dilakukan secara terpadu juga sudah ditangani komponen lain, seperti LSM dan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) yang tersebar di seluruh kabupaten kota di Riau.
Plt Gubri Hadiri Acara Senam Bersama dan Memperingati HUT Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB (BP3AKB) Provinsi Riau beberapa waktu lalu |
"Namun, belum dapat menjalankan tugas dengan optimal, karena pendanaan payung hukumnya masih dalam bentuk peraturan gubernur (Pergub). Makanya, hari ini gubernur Riau menyampaikan ranperda utk dpat disetujui menjadi perda menjadi payung hukum melindungi hak perempuan. Untuk itu kita harapkan dapat dapat mengagendakan pembahasan ranperda yang disampaikan," terang Ahmad Hijazi.
Dijelaskan Sekdaprov Riau, Penanganan kasus terhadap perempuan dilakukan secara terpadu juga sudah ditangani komponen lain, seperti LSM dan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) yang tersebar di seluruh kabupaten kota di Riau.
Untuk menampung persoalan kekerasan perempuan ini, Hijazi mengatakan, Pemprov Riau sudah membentuk kelompok kerja baik itu yang difasilitasi oleh swasta maupun pemerintah. Pemprov Riau juga menfasilitasi keberadaan P2TPA yang sudah ada di 12 kabupaten/kota di Riau.
Titik penting dalam Raperda ini adalah pencegahan, diharapkan kedepan, kegiatan-kegiatan pencegahan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan bisa lebih diperbanyak lagi agar bisa menyentuh seluruh elemen masyarakat.
Sekda juga menegaskan, dengan adanya tanggung jawab Pemerintah Provinsi terkait program pencegahan, akan didukung dengan anggaran yang memadai untuk program-program perlindungan perempuan dan anak ini. "Tentu dengan adanya perda ini akan berdampak juga terhadap anggaran, akan ada alokasi khusus tentu untuk pelaksanaan program ini," terangnya.
Mekipun Pemerintah memiliki tanggung jawab besar melaksanakan, namun Ahmad Hijazi meminta peran dari seluruh elemen dalam masyarakat untuk menanggulangi adanya kekerasan terhadap perempuan. "Untuk itu kami berharap agar kiranya dewan dapat membahas lebih lanjut usulan Raperda ini hingga pada penyelesaian akhirnya," tutup dia.
Sekdaprov menyebutkan, kekerasan terhadap perempuan sering terjadi baik dalam kehidupan berumah tangga, di lingkunan tempat kerja dan berbagai kehidupan sosial masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan.
"Sehingga, Ranperda ini diharapkan dapat melindungi hak perempuan dari kekerasan. Dan upaya pencegahan supaya tidak terjadi lagi kekerasan termasuk pemaksaan dan perampasan kemerdekaan," terang Ahmad Hijazi.
Isu kekerasan terhadap perempuan sering dianggap sebagai masalah individu, padahal saat ini permasalahan kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi masalah global. "Yang terekspos ke publik itu sebenarnya sudah mencapai puncaknya, padahal sebenarnya masih banyak didalamnya terjadi kekerasan terhadap perempuan," ujarnya.
Dengan Raperda ini diharapkan Pemerintah Provinsi Riau lebih serius lagi melakukan pencegahan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan karena telah dilengkapi dengan payung hukum yang jelas.
Komitmen melindungi perempuan dan anak oleh pemerintah provinsi Riau melalui Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BPPPAKB) Riau bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) lakukan Advokasi dan sosialisasi perlindungan perempuan (PP) dan perlindungan anak (PA) bagi lembaga profesi dan dunia usaha.
Di tahun 2016, Kementerian PP-PA memiliki tiga program unggulan yang disebut sebagai 'three ends', yaitu end violence against women and children (akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak), end human trafficking (akhiri perdagangan manusia), dan end barriers to economic justice (akhiri kesenjangan ekonomi)
Program ini untuk menggugah kesadaran masyarakat agar bersinergi dengan lembaga atau organisasi di masyarakat dan diharapkan dapat menjadi arah bagi KPPA dan para pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah dalam melaksanakan urusan PP dan PA
"Kegiatan Advokasi dan sosialisasi PP-PA bagi lembaga profesi dan dunia usaha dapat membangun koordinasi yang kuat antar pelaku pembangunan, menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi pembangunan khususnya urusan PP dan PA dalam mengatasi permasalahan di Riau sampai pada tingkat kabupaten hingga desa," Kata Kepala BPPPAKB Riau T. Hidayati Efiza
Tengku Hidayati Efiza, berharap dengan adanya kegiatan apa yang menjadi tujuan pemerintah pusat dan daerah dapat terwujud yaitu dengan meningkatkan sensitifitas berbagai pihak khususnya elemen masyarakat dari dunia usaha, media maupun Akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat dalam melakukan komunikasi dan pengembangan jejaring dengan masyarakat dan dunia usaha.(adv/ria10)
Post a Comment