RIAU, PEKANBARU - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau menyatakan sudah ada 17 orang legislator yang sudah menandatangani hak angket untuk mengusut kasus dana Eskalasi ((hasil penghitungan penyesuaian harga, red) sebanyak Rp.222 Milyar.
|
HM. Adil anggota Badan Anggaran DPRD Riau |
"Sepengetahuan saya udah 17 orang anggota DPRD yang menandantanganinya, kita tinggal menunggu tahapan selanjutnya"ujar HM. Adil anggota Badan Anggaran DPRD Riau ini kepada Wartawan, Jumat sore (25/3/2016).
Dijelaskan HM Adil lagi, dalam Tatib (Tata Tertib, red), sedikitnya 10 orang anggota maka hak angket tersebut dapat dilaksanakan.
Pembayaran dana eskalasi yang dilakukan oleh Pemprov Riau ini dikatakan oleh HM Adil, sudah masuk kategori kasus dugaan korupsi. Pasalnya dana yang diajukan didalam APBD-P Riau tahun 2015, tanpa melalui persetujuan di Badan Anggaran (Banggar) DPRD Riau meskipun sempat dibahas namun ditolak.
Dimana dana eskalasi sejumalah Rp.222.895.826.691 tersebut untuk membayar hutang kepada 8 perusahaan kontraktor pada APBD Perubahan tahun 2015 lalu.
HM Adil mengaku mendapat kabar ada fee (komisi, red) sebesar 2 persen yang diberikan kepada oknum-oknum yang terlibat dalam skenario meloloskan duit itu.
"Tunggu dan ikuti perkembangannya. Yang terlibat, siap-siap saja. Aparat hukum harus mengusut," pintanya.
Temuan mencurigakan ini juga disampaikan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau. Dikatakan, berdasarkan PP Nomor 70, pembayaran hutang tak boleh melebihi 10 persen dari nilai proyek.
Untuk diketahui, kasus ini berawal atas adanya permohonan dari 8 perusahaan melalui BANI terkait eskalasi ini adanya selisih perhitungan harga terkait 9 proyek multi years yang dikerjakan.
Akhirnya, melalui putusan No. 352/V/ ARB-BANI/2010 yang dibacakan pada hari Senin tanggal 27 Desember 2010, BANI meminta Pemprov Riau membayarkan hutang eskalasi itu kepada rekanan. Dalam putusan itu, perusahaan rekanan beralasan, eskalasi harga, harusnya berpedoman kepada Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 Pasal 9 Ayat 1. Dimana, perhitungan eskalasi harga dimulai sejak bulan Desember 2004, yaitu sejak bulan pertama pekerjaan.
Sementara, Pemprov Riau meyakini, berdasarkan Pasal 9 ayat 4 dari kontrak, yang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 105/ PMK.06/2005 tanggal 9 November 2005 tentang Penyesuaian Harga Satuan dan Nilai Kontrak Kegiatan Pemerintah Tahun Anggaran 2005, eskalasi harga dimulai sejak bulan Oktober 2005 sesuai dengan lahirnya kebijakan moneter terhadap kenaikan bahan bakar minyak (BBM).
Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) pun menguatkan putusan BANI tersebut. Melalui putusan Nomor 709 K/Pdt.Sus/2011. Hakim Mahkamah Agung yang diketuai H Muhammad Taufik, SH, MH, menolak keberatan pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau yang diwakili oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum atas putusan banding sebelumnya yang menguatkan putusan BANI.
Putusan itu, mewajibkan Pemprov Riau untuk membayar eskalasi harga pada APBD Perubahan 2015 kepada 8 perusahaan rekanan dengan jumlah total sebesar Rp322.395.826.691.
Rinciannya, untuk PT Pembangunan Perumahan (PP) (Persero) Tbk sebesar Rp113.841.020.412, PT Adhi Karya (Persero) Tbk sebesar Rp41.215.592.443, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebesar Rp31.504.906.623, PT Hutama Karya (Persero) Tbk berkerjasama dengan PT Duta Graha Indah sebesar Rp49.853.904.365, PT Waskita Karya (Persero) sebesar Rp20.459.969.777, PT Istaka Karya (Persero) sebesar Rp29.580.157.994, PT Modern Widya Technical yang bekerjasama dengan PT Anisa Putri Ragil sebesar Rp11.520.971.085 dan PT Harap Panjang sebesar Rp24.419.304.658.
Dalam perjalanannya, BPKP sendiri justru menyatakan total hutang eskalasi yang harus dibayar sebesar Rp220 Milyar. Perbedaan angka antara BPKP dan BANI yang dikuatkan MA inilah yang membuat DPRD Riau sengaja tak menganggarkan pembayaran hutang itu di APBD Perubahan tahun 2015 lalu.
Namun, tiba-tiba diketahui, telah dibayarkan oleh Pemprov Riau dengan alasan adanya rekomendasi dari DPRD dalam pengusulan itu.(ria/leg03)
Post a Comment