BERITA RIAU, INDRAGIRI HILIR - Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Indragiri Hilir mengakui PT Indogreen Jaya Abadi (PT IJA) telah melakukan pengrusakan lingkungan dan ekosistem di Pulau Basu, Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra).
Tapi, disayangkan instansi ini hanya mengambil tindakan administratif berupa teguran, padahal pengrusakan kawasan hutan dan ekosistem Danau Mablu di kawasan Pulau Basu mengancam habitat burung langka bangau putih susu (Mycteria cineria) dengan populasi sekitar 5.500 ekor. Selain itu, setiap tahun dimulai Juni, ribuan burung migran seperti bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), kuntul kecil (Egretta garzetta), dan kediki kaki merah (Tringa totanus) singgah setelah terbang dari Siberia dan Tiongkok, sebelum menuju Australia.
Tindakan korporasi yang merusak kawasan Pulau Basu dengan Danau Mablu yang dulunya sangat eksotik ini merupakan tindak pidana pengrusakan lingkungan dan pelakunya harus diseret ke jalur hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Berdasarkan pengamatan kami di lapangan, memang perusahaan PT Indogreen Jaya Abadi ini sudah merusak kawasan Danau Mablu," jelas Kepala BLH Inhil Encik Kamal Syahindra di hadapan Ketua DPRD Inhil Dani M Nursalam dan anggota DPRD lainnya saat hearing, Rabu (7/10/15) lalu.
Mendapati kondisi ini pihaknya langsung memanggil manajemen PT IJA dan memberikan teguran agar tidak menggarap lagi kawasan tersebut.
"Kami sudah minta pihak perusahaan untuk menanami lagi (kawasan tersebut) sesuai dengan kondisi sebenarnya," ujarnya.
Diakuinya, juga akibat aktifitas perusahaan ini memantik permasalahan serius di lapangan, yakni konflik dengan masyarakat sekitar dan serangan Organisme Pengganggu Tanaman yanf menyerangan tanaman kelapa dalam masyarakat tempatan.
Padahal, mengacu kepada keberadaan dan fungsinya kawasan Pulau Basu atau Pulau Bakung termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang ditumbuhi mangrove berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilarang untuk dialih-fungsikan dan para pelakunya terancam pidana.
Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah menempatkan hutan bakau (mangrove) sebagai Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 1 angka 4) dan terdapat ancaman pidana terhadap penebangan dan perusakan hutan mangrove di pesisir.
Pelaku perusakan terhadap mangrove tersebut diancam dengan Pidana Pasal 73 ayat (1) huruf b dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.
Adapun beberapa undang-undang yang juga mengatur mengenai hutan mangrove antara lain UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Termasuk Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 17 Ayat 2 huruf b yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan.
Disebutkan, pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah menggarap kawasan tersebut tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan prosedur lainnya atas alih-fungsi dan atau konversi tersebut.
Padahal, organisasi yang selama ini peduli terhadap kelestarian dan keselamatan kawasan pesisir, yakni Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) telah merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah bagi penyelamatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu menghentikan alih fungsi atau konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit atau pertambakan budidaya dan menindak pelaku konversi hutan bakau yang merusak ekosistem pesisir.(dow/rtm)
Post a Comment