BERITA RIAU, PEKANBARU - ASAP yang tak kunjung hilang dalam beberapa bulan ini dari Bumi Melayu Riau dan bumi “Melayu lainnya” di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan hampir semua provinsi lainnya di Pulau Kalimantan menumbuhkan berbagai solusi baik yang bernada optimistis maupun bernada sinis dan skeptis atas ketidakberdayaan pemerintah khususnya pemerintah pusat dalam menangani kabut asap tersebut.
Salah satu yang bersifat keras itu adalah munculnya wacana Riau (dan juga Jambi) merdeka yang mulai ramai dicetuskan di kampus dan media sosial.
Diskursus Riau Merdeka, bukan sekali ini saja mengemuka. Beberapa tahun silam, tepatnya 15 Maret 1999, gagasan serupa telah pernah mengemuka dan mendapatkan perhatian yang cukup besar dari tokoh-tokoh Riau dari tingkat daerah hingga tingkat nasional.
Walaupun sempat mengemuka, pada akhirnya wacana Riau Merdeka menghilang seiring berjalannya proses waktu dan wacana tersebut kini mulai muncul kembali menyusul protes Riau atas ketidakpedulian pemerintah dalam menangani kabut asap yang telah lebih kurang 18 tahun terjadi di “provinsi-provinsi Melayu” (Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan). Adalah sebuah kebetulan, kebakaran hutan dan lahan terjadi di provinsi-provinsi yang penduduknya beretnis Melayu sehingga wacana kemerdekaan saat ini, bukan lagi isu Riau Merdeka, tetapi telah pula berkembang secara sangat dinamis dan relatif tidak terkendali menjadi gagasan “Melayu (Raya) Merdeka”. Wacana merdeka tidak saja muncul di kalangan anak muda Riau, tetapi juga Jambi bahkan Sumatera Timur di jejaring sosial.
Sebagai sebuah diskursus atau wacana, menggagas Riau atau Jambi atau Melayu Merdeka adalah sah-sah saja jika dilihat dari kacamata akademis. Pernyataan dan gagasan tersebut tak lain adalah perwujudan hak asasi manusia. Namun demikian, gagasan tersebut akan menjadi lain jika dipahami dari sudut pandang hukum khususnya hukum pidana. Lain lagi pula jika dipotret dengan kacamatan politik.
Dari perspektif hukum pidana, menggagas kemerdekaan bisa jadi dapat ditafsirkan sebagai perilaku makar khususnya makar terhadap keutuhan wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 106 KUHPidana yaitu “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”
Walaupun beberapa pakar seperti almarhum Prof Loebby Loqman atau Prof Indriyanto Seno Adji menarik garis tegas tentang definisi makar bahwa harus ada serangan yang bersifat fisik, pakar lain seperti Langameijer dan Simon serta beberapa putusan pengadilan justru menafsirkan untuk terpenuhinya unsur makar tidak harus terlebih dahulu ada “serangan” yang bersifat fisik. Dalam beberapa kasus Republik Maluku Selatan atau Sunda Nusantara, wacana dan rapat-rapat terkait ide kemerdekaan telah dikaulifikasi sebagai tindak pidana yang selesai.
Dalam disertasi yang saya tulis tentang makar, ada garis yang lebih tegas sebagai pembeda makar atau perwujudan hak asasi warga negara yaitu terkait sejauh mana keseriusan sebuah ide kemerdekaan yang diwacanakan. Berkaca dari isu Riau Merdeka tahun 1999, diskursus tersebut lebih kurang sama dengan wacana Yogya Merdeka atau Bali Merdeka, yang tingkat keseriusannya tidak dalam posisi yang benar-benar ingin merdeka. Kongres Rakyat Riau tahun 1999 oleh Firman Noor disebut sebagai sebuah gerakan yang tidak benar-benar ingin merdeka, melainkan lebih pada bentuk protes Riau atas perlakuan pusat.
Gagasan Riau Merdeka, Yogya Merdeka atau Bali merdeka secara substantif sangat berbeda dengan gerakan Maluku Selatan yang lebih serius sebagai bentuk perjuangan kemerdekaan yang benar-benar ingin berpisah dari NKRI, walaupun di akar rumput sendiri gerakan tersebut seperti tak membekas di sebagian besar rakyat Maluku yang membuatnya amat berbeda dengan Papua atau Aceh. Walaupun belum ada serangan yang berbentuk fisik di Maluku Selatan, rapat-rapat dan wacana saja sudah dapat dikualifikasi sebagai makar, karena sejauh pengamatan pusat, gerakan Maluku Selatan adalah gerakan separatis yang serius dan ideologis.
Gagasan Riau Merdeka lebih pada tekanan politik kategori “hard diplomacy”, kepada pusat sebagai bentuk protes ketidakpedulian pusat atas bencana asap yang sudah 18 tahun datang sekali bahkan dua kali dalam setahun. Riau dan Melayu pada umumnya sesungguhnya tidak punya ideologi separatis terhadap pusat. Itu lah yang ditunjukkan Sultan Syarif Kasim yang merupakan sultan kedua setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang memberikan pengakuan atas Republik Indonesia yang diproklamasikan Soekarno-Hatta.
Dengan sikap Sultan Syarif Kasim II dapat dilihat bahwa sesungguhnya Riau tidak pernah merasa berbeda dengan Indonesia, atau setidaknya tidak memiliki latar belakang historis untuk menjadi “anak nakal” dalam ibu pertiwi bernama Republik Indonesia.
Ini berbeda dengan pengalaman Jambi misalnya yang sebagaimana digambarkan oleh Lisbeth Scholten di mana tokoh-tokoh Jambi di masa awal kemerdekaan pernah merencanakan keinginan untuk merdeka dan tidak menjadi bagian dari NKRI Soekarno-Hatta walaupun keinginan tersebut dapat disebut sangat tidak serius dan akhirnya menghilang begitu saja seiring dengan makin kuatnya Republik Indonesia.
Riau tidak cukup memiliki alasan untuk benar-benar merdeka jika meminjam syarat untuk merdeka yang dikemukakan oleh Allan Buchanan yaitu merasa terancam kebebasan dan keragamannya, mengalami redistribusi yang diskriminatif dan inefisiensi, mempertahankan budaya, bela diri, dan pemaksaan integrasi di masa lalu.
Sungguhpun demikian, meskipun belum tentu serius benar-benar mau merdeka, diskursus Riau Merdeka tidak boleh dianggap enteng. Pernyataan itu harus tetap ditanggapi secara serius oleh pemerintah pusat, setidaknya lebih serius lagi dalam menanggapi tuntutan penuntasan kabut asap. Harus ada langkah strategis dan komprehensip agar asap tidak datang lagi secara permanen.(dow/rls)
Sumber : RiauPos
Post a Comment