INDRAGIRI HULU, RENGAT BARAT - Kisah Danau Meduyan di Indragiri Hulu, dari warga diserang buaya hingga mitos buaya "penjaga danau', sampai doa bersama dan ritual tolak bala yang dilaksanakan warga. Kisah Danau Meduyan di Indragiri Hulu ini terungkap dari penyerangan buaya terhadap warga bernama Makrifat.
Makrifat merupakan seorang warga Desa Kota Lama, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, Indonesia untuk menggelar doa bersama memohon keselamatan bagi warga Desa Kota Lama di Danau Meduyan.
Doa bersama ini menjadi rangkaian prosesi tolak bala yang dilakukan pascapenyerangan buaya di Danau Meduyan beberapa waktu lalu. Saharan salah satu masyarakat asli Kota Lama menceritakan kejadian penyerangan buaya di Danau Meduyan tersebut. Sejak ia hidup, dan saat ini sudah berumur 54 tahun, baru kali ini adanya penyerangan buaya terhadap warga.
"Seumur hidup saya, ini sudah 54 tahun, ini beru pertama kali ada buaya menyerang manusia," ungkap Saharan.
Atas adanya serangan buaya itu, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) meminta warga agar waspada saat beraktifitas di daerah yang menjadi habitat buaya seperti di Danau Meduyan. Sedangkan warga, sebagai bentuk reaksi mereka atas serangan buaya itu melakukan doa bersama dan ritual tolak bala.
Doa bersama dan ritual tolak bala itu didimulai tepat pukul 20.00 WIB di Balai Adat yang berada tepat di tepi Danau Meduyan. Menurut warga setempat, Herman, selain berdoa bersama, ada tim tersendiri yang melaksanakan ritual khusus sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Desa Kota Lama.
"Ada beberapa orang yang melakukan ritual. Sementara sebagian lagi melaksanakan doa bersama," kata Herman.
Orang-orang yang ditunjuk melaksanakan ritual harus masyarakat tempatan. Meskipun ada dari luar Desa Kota Lama, namun tetap memiliki asal usul dari Desa Kota Lama. Keberadaan buaya di Danau Meduyan, Desa Kota Lama memang sudah tidak diragukan lagi. Penyerangan terhadap makriat itu menjadi bukti.
Bahkan mitos di tengah masyarakat setempat mempercayai adanya buaya yang bersemayam di Danau Meduyan yang merupakan "penjaga danau". Namun sebuah pertanyaan besar mengapa selama puluhan tahun eksistensi Danau Meduyan, baru kali ini terjadi penyerangan buaya terhadap warga.
Saharan, seorang penduduk asli di Desa Kota Lama yang juga menjadi staf BPCB Wilayah Sumbar-Riau-Kepri di Inhu itu, memiliki pendapat berbeda soal penyerangan buaya tersebut. Menurutnya buaya yang menyerang warga tersebut merupakan buaya yang datang dari luar Danau Meduyan.
"Di Danau Meduyan itu ada buaya hitam dan buaya katak, yang menyerang itu bukan buaya yang dari Danau Meduyan, karena kemarin ada yang melihat buaya itu sudah hijrah ke Sungai Kuantan," kata Saharan.
Sebelum penyerangan itu, Saharan berkata buaya di Danau Meduyan sudah sering muncul ke permukaan memberi tanda peringatan. Oleh karena itu manusia harus menjaga etikanya. Sementara itu, BBKSDA Riau sudah menerima informasi soal keberadaan buaya di Danau Meduyan dan sudah menurunkan tim ke lokasi untuk melakukan pengecekan.
Hutomo Mulyo, Kabid KSDA Wilayah I menjelaskan lebih jauh soal keberadaan dan penyerangan buaya di Danau Meduyan. Pertama sekali Hutomo menjelaskan sejumlah kemungkinan yang menjelaskan adanya buaya di dalam danau. Membuka wawancara, ia mengungkapkan kemustahilan akan keberadaan buaya di dsnau seperti di Danau Meduyan.
Oleh karen itu ia menggambarkan sejumlah kemungkinan berdasarkan pengalaman-pengalaman di daerah lain.
"Kalau danau seperti itu, danau yang tertutup mustahil rasanya ada buaya. Kita kgawatir danau itu memang dimasukan buaya," kata Hutomo.
Hal ini berdasarkan pengalamannya menangani kasus di daerah Taluk Kuantan. Kemungkinan kedua yang menyebabkan keberadaan buaya di Danau Meduyan tersebut dikarenakan banjir yang luar biasa sehingga mempengaruhi penyebaran buaya.
Buaya yang hidup di Sungai berpindah dan masuk ke danau.
Selain itu kemungkinan yang ketiga, adalah buaya kehilangan makanan di habitat aslinya dan terpancing mencari makanan di luar habitat.
"Sering kali manusia menangkap ikan dengan cara meracun dan dengan listrik, memang banyak yang dapat tapi akibatnya buaya kekurangan makanan," kata Hutomo.
Sementara penyerangan buaya kepada manusia tersebut bisa diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama masyarakat yang tidak sadar berada di dalam habitat buaya.
"Sering kali masyarakat lupa berada di tempat berbuaya, sehingga pas turun ke air buaya langsung datang," katanya.
Hutomo berkata saat itu terjadi, sering kali serangan buaya tidak mematikan, sehingga sering kali manusia masih bisa melakukan perlawanan. Dirinya mencatat ada sejumlah kasus serangan buaya, di mana korban berhasil menyelamatkan diri. Selain itu, buaya yang merasa terganggu akibat aktifitas manusia juga menjadi salah satu faktor buaya menyerang manusia.
Seperti yang dijelaskan Hutomo, dari beberapa kasus yang terjadi pihaknya sering kali mengevakuasi buaya yang mengalami luka, misalnya satu mata yang buta dan bagian mulut yang terluka parah. Sepanjang tahun 2018, ini BBKSDA mencatat 10 kasus serangan buaya terhadap manusia.
Sejumlah lokasi yang terdapat penyerangan buaya, antara lain Air Molek, Taluk Kuantan, dan Batang Gansal. Sementara itu, upaya pertama yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyerangan buaya adalah memasang papan peringatan, seperti yang dilakukan di Sungai Siak, Pekanbaru, Taluk Kuantan, Benai, dan Kampar Kiri.
"Ini semacam peringatan dini, agar masyarakat sadar beraktifitas di daerah berbuaya," kata Hutomo.
Hutomo menegaskan bahwa manusia bukanlah mangsa buaya.(dow)
source : berita inhu
Post a Comment